• News

    Asep Anang: Perkembangan Broiler Masa Kini


    Sangat menarik jika membahas broiler (ayam pedaging) seperti apa saat ini karena di lapangan terjadi banyak masalah bahkan panen pun banyak yang gagal. Kita tahu sampai sekarang 100% indukan broiler masih impor yang berarti kita masih bergantung total pada luar negeri dan bisa dikatakan Indonesia belum swasembada ayam pedaging. Jika komoditas broiler ini dikaitkan dengan persoalan politik tentunya akan berpengaruh terhadap stabilitas pangan kita. Sebagai contoh jika terjadi kasus AI (flu burung) di negara importir indukan broiler maka Indonesia akan melarang importasi indukan broiler dari negara yang bersangkutan.

    Dulu, banyak strain broiler yang diimpor oleh pelaku industri perunggasan di Indonesia. Namun saat ini, strain yang banyak beredar di Indonesia terfokus pada dua strain yaitu Cobb dan Ross. Sementara strain Hubbard tidak terlalu banyak. Kalau kita lihat postur broiler sekarang lebih besar di dada, paha lebih kecil, dan kelihatannya tidak kuat jalan-jalan sehingga manajemen pemeliharaan harus lebih kuat, tempat pakan agak ke atas supaya tidak makan terus dan tempat air harus berdekatan karena broiler jalannya sedikit dan lebih banyak diam apalagi kalau cuaca panas. Pada broiler sekarang juga banyak terjadi kelumpuhan karena badannya terlalu besar. Ini masalah broiler sekarang.

    Bentuk broiler yang ada saat ini merupakan hasil pemuliaan dari berbagai jenis ayam. Dalam pemilihan broiler ini, faktor indukan/bibit sangat menentukan. Pertanyaannya, kenapa kita selalu impor indukan broiler? Kenapa kita tidak membuat sendiri menggunakan ayam lokal Indonesia?

    Jika melihat sejarahnya, pada era 1960-an, seleksi broiler difokuskan terhadap bobot badan saja. Dalam perkembangannya, jantung menjadi salah satu kriteria utama dalam seleksi. Pasalnya, jantung yang besar ternyata tidak proporsional dan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan badan ayam, salah satunya mudah stres akibat proses metabolisme yang cepat. Terkait jantung juga muncul asites yaitu penyakit masalah jantung karena jantungnya terlalu kecil. Sementara di era 2000 dilakukan seleksi broiler yang memiliki daya tahan dan resisten terhadap penyakit, tapi sampai sekarang belum beredar jenis ayam yang resisten terhadap penyakit.

    Sekarang teknologi reproduksi sudah maju. Saya juga mengalami ketika melakukan seleksi ayam menggunakan IB (Inseminasi Buatan). Namun ternyata ayam-ayam yang kita pilih ini belum tentu punya kemampuan kawin yang bagus. Saya akhirnya memakai kawin alam dan telur yang ditetaskan berasal dari ayam-ayam yang reproduksinya bagus. Hal itu menunjukkan ternyata teknologi masih ada kelemahannya. Dan perlu digarisbawahi bahwa teknik-teknik pemuliaan yang digunakan pada ayam sampai sekarang belum ada teknik rekayasa genetik atau transfer gen yang dilakukan pada ayam karena para produsen strain ayam lebih menghendaki produk-produk alami dan tidak mau menghasilkan produk-produk yang dimanipulasi. Sehingga sebenarnya teknik pemuliaan ayam ini tidak begitu kompleks dan kita bisa melakukannya tapi kenapa di Indonesia ini belum ada investor berani.

    Harus Selektif

    Ketika kita membeli ayam harus selektif karena para pelaku usaha pembibitan biasanya tidak mengeluarkan satu produk saja. Di broiler, untuk DOC FS (final stock) pertumbuhannya cepat sekali sedangkan untuk bibit atau indukannya ditahan atau tidak diberi kesempatan tumbuh yang cepat. Untuk bibit, kondisi itu tidak masalah karena yang penting adalah meskipun nutrisi diberikan serendah mungkin atau pakan yang diberikan tidak terlalu bagus tapi bisa menghasilkan kemampuan reproduksi yang bagus. Dengan kata lain, jika nutrisi dan pertumbuhan bibit cepat maka reproduksinya akan terganggu sehingga yang lebih penting di bibit ayam adalah pakan-pakan yang minimum tapi produksi dimulai dari berat telur dan fertilitas yang dihasilkan itu tidak terpengaruh. Juga setiap strain broiler membutuhkan formulasi atau jenis pakan yang berbeda atau tidak bisa disamaratakan.

    Perlu ditekankan bahwa, potensi genetik ternak itu tidak berubah sehingga ayam itu mau kecil maupun besar, potensi genetik yang diturunkan tidak berubah. Sebagai gambaran, di 1925 untuk mencapai berat broiler 1 kg membutuhkan waktu 112 hari dengan FCR (rasio konversi pakan) 4,7. Seleksi berkembang terus dan masif misalnya di 1995 itu untuk mencapai berat badan ayam 1,5 kg memerlukan waktu sekitar 115. Sedangkan di 2011 untuk mencapai berat badan broiler 2,6 kg membutuhkan waktu 47 hari saja dengan FCR 1,9 yang menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai berat badan sebesar itu semakin menurun. Bahkan prediksi paling top menyatakan di 2050, untuk mencapai berat badan broiler 2 kg hanya membutuhkan waktu 19 hari dengan FCR 1.

    Bahkan prediksi paling top menyatakan di 2050, untuk mencapai berat badan broiler 2 kg hanya membutuhkan waktu 19 hari dengan FCR 1.


    Performa Standar

    Mengingat bibit broiler yang ada di Indonesia itu diimpor sehingga hitungan kebutuhan broiler nasional pun berdasarkan impor. Untuk induk jantannya yang masuk ke Indonesia, kita tidak punya. Dulu pernah diimpor GGPS (Great Grand Parent Stock) tapi hanya satu kali dan diawasi ketat karena kita bisa  mengembangkannya sendiri.

    Setiap strain punya standar tersendiri dalam menghasilkan keturunannya. Misalnya strain Cobb, 1 ekor GPS (Grand Parent Stock) menghasilkan keturunan 47,6 ekor PS (Parent Stock). Dan 1 ekor PS bisa menghasilkan 150 ekor FS. Untuk strain Ross juga punya standarnya tersendiri. 1 ekor PS bisa menghasilkan 148 ekor FS.

    Perjalanan ayam ini juga panjang untuk sampai ke tangan peternak. Jika memelihara GPS perlu waktu 25 minggu untuk bertelur. Setelah itu, GPS bertelur selama 40 minggu dan telur yang dihasilkan akan menjadi PS. PS akan dibesarkan sekitar 25 minggu agar menghasilkan FS dan akan menjalani masa produksi selama 40 minggu. Sehingga perlu sekitar 2 tahun dari GPS untuk menghasilkan FS atau perlu 1 tahun dari PS untuk menghasilkan FS.

    ... perlu sekitar 2 tahun dari GPS untuk menghasilkan FS atau perlu 1 tahun dari PS untuk menghasilkan FS.


    Sebagai contoh, kalau pemerintah Indonesia mengimpor 100.000 ekor GPS maka akan menghasilkan sekitar 4,3 juta ekor PS yang selanjutnya akan memproduksi sekitar 600 juta ekor FS. Kalau berbicara tentang daging, dari jumlah FS yang dihasilkan lalu dipelihara selama 28 hari ini akan menghasilkan sekitar 869 juta kg. Sehingga sebenarnya akan terukur produksi daging ayam untuk kebutuhan nasional ini. Kalau sekarang pemerintah mengimpor sekitar 600 ribu ekor GPS, jumlah FS yang dihasilkan akan terukur karena ada standar khusus.

    Dengan proses yang panjang ini dan harga ayam khususnya di tingkat peternak yang sangat sensitif membuat manajemen pemeliharaan sangat menentukan bagi setiap perusahaan pembibitan. Setiap pembibit punya kemampuan masing-masing dan standar untuk ayam peliharaannya yang dalam perjalanannya mugkin tidak semulus standar itu seperti adanya kasus di produksi yang tidak optimal. Tetapi kalau diperhatikan, untuk perusahaan-perusahaan besar sudah bisa memenuhi standar, sudah bagus sistem manajemen, closed house (kandang tertutup), dan nutrisi semuanya sudah terjamin sehingga sudah mampu standar itu. Para pembibit skala besar juga sudah punya prinsip pasar sendiri dengan menggunakan market intellegent. Isu pasar sangat menentukan harga. Sebagai contoh kasus flu burung di TV pengaruhnya sangat besar terhadap harga ayam kalau diekspos besar-besaran.

    Pemerintah sangat penting memiliki database yang bisa menduga berapa kebutuhan DOC yang akan dikeluarkan setiap minggu dari importasi GPS yang dilakukan. Dengan begitu, kondisi pasokan dan permintaan DOC perminggu tidak akan keos lagi karena sudah diketahui jumlah DOC maksimum per minggu yang harus dikeluarkan. Untuk pelaku industri pembibitan juga harus berperan dalam hal keterbukaan performa agar dengan proyeksi permintaan DOC per minggu yang dikeluarkan oleh pemerintah, mereka bisa mengikuti kira-kira berapa jumlah telur yang harus ditetaskan dan pasokan DOC yang dikeluarkan per minggunya.

    Dr. Asep Anang
    Ahli Genetika Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Tim Monitoring dan Analisis Ayam Ras Nasional,
    Alumnus Fapet Unpad

    dituliskan kembali oleh Usman

    Sumber: TROBOS

    No comments:

    Post a Comment